Hukum Menerima Uang dan Nafkah Hasil Judi
Para pembaca Bimbinganislam.com yang mencintai Allah ta’ala berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang hukum menerima uang dan nafkah hasil judi. selamat membaca.
بسم اللّه الرحمن الر حيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Semoga ustadz dan admin serta kita semua dijaga Allah.
Bagaimana hukum menerima sesuatu dari harta yang diperoleh dari perjudian ustadz?
Jazaakumullah khoiron
(Disampaikan oleh Fulan dari Sukoharjo, Member grup WA BiAS)
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du
Hukumnya tidak boleh, karena status harta itu menjadi harta haram ada dua penyebabnya :
Sebenarnya dzat dari harta ini halal akan tetapi karena diperoleh dengan cara haram maka ia menjadi haram.
Maka dari itu sebisa mungkin kita menghindar dari jenis harta yang didapatkan dengan cara haram. Kecuali jika seseorang menjadi istri atau anak-anak dalam sebuah rumah tangga, tidak mampu bekerja dan tidak ada yang menafkahi dia melainkan suaminya dengan menggunakan harta hasil perjudian maka ia mengambil sesuai kadar kebutuhan.
Dengan tetap menasehati suami agar meninggalkan perbuatan maksiat tersebut serta mencari jenis pekerjaan lain yang halal. Disebutkan di dalam Fatawa Lajnah Daimah :
لا يجوز للأب أن يربِّي أولاده على كسبٍ حرام ، وهذا معلوم عند السائل ، وأما الأولاد : فلا ذنب لهم في ذلك ، وإنما الذنب على أبيهم
“Tidak boleh bagi seorang ayah untuk mendidik anak-anaknya dengan penghasilan yang haram, dan ini satu hal yang sudah dimaklumi oleh penanya. Adapun anak-anak maka mereka tidak menaggung dosa dalam masalah ini akan tetapi dosanya ditanggung oleh ayah mereka.” (Fatawa Lajnah Daimah : 26/332).
Semoga bermanfaat, Wallahu ta’ala a’lam.
Dijawab dengan ringkas oleh : Ustadz Abul Aswad Al Bayati حفظه الله Ahad, 05 Sya’ban 1441 H/ 29 Maret 2020 M
Ustadz Abul Aswad Al-Bayati, BA. Dewan konsultasi Bimbingan Islam (BIAS), alumni MEDIU, dai asal klaten Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Abul Aswad Al-Bayati حفظه الله klik disini
Assalamualaikum Ustadz, saya mau bertanya, kebetulan saya mempunyai usaha perdagangan, dan kebetulan mempunyai seorang pelanggan yang termasuk pembeli yang paling banyak belanja ditempat saya. Tetapi belakangan menurut berita yang beredar, baru saya ketahui kalau beliau adalah pengusaha yang memperoleh penghasilan dari usaha/pekerjaan yang haram,, Pertanyaan saya adalah apabila pelanggan tersebut belanja di tempat saya menggunakan uang yang diperoleh dari pekerjaan/usaha yang haram, yang mana uang tersebut adalah uang haram, apakah uang tersebut hukumnya haram bagi saya, padahal uang tersebut untuk pembayaran barang yang saya jual? Terimakasih. Wa alaikumus salam wr wb. Para ulama berbeda pendapat pendapat tentang status menerima unag haram yang memang sudah diapstikan keharamannya. Yang dimaksud sudah dipastikan keharamannya adalah bahwa uang tersebut didapat dari cara yang tidak halal. Misalnya menerima uang hasil curian yang memang kita tahu secara pasti bahwa uang itu hasil curian. Sedangkan jika baru sebatas dugaan atau rumor, statusnya belum jelas. Karena belum jelas, fiqh menghukuminya secara zahir, bahwa uang itu adalah uang bersih atau bukan didapatkan dari cara yang haram. Mengenai uang yang sudah dipastikan keharamannya, para Ulama berbeda pendapat;
Terkait serangan fajar atau pemberian uang untuk mendukung calon tertentu pernah dibahas oleh KH Yahya Zainul Ma’arif alias Buya Yahya. Persoalan hukum politik ini dibahas Buya Yahya ketika mendapat pertanyaan dari jemaahnya.
Buya Yahya menuturkan, seorang muslim memiliki kewibawaan yang tidak bisa dibeli apapun. Muslim tidak boleh menukar akhlaknya, agamanya, dan imannya yang secara khusus untuk kepentingan Pemilu 2024.
“Tidak boleh ditukar akhlak kita, agama kita, iman kita. Maka ini perlu pembiasaan. Jangan dikit-dikit main imbalan, main pemberian,” kata Buya Yahya, dikutip dari YouTube Al Bahjah TV, Sabtu (10/2/2024).
Buya Yahya tak menampik jika ada timses caleg atau capres yang memberinya secara tulus dan ikhlas. Namun, menurut Buya Yahya, persoalan dalam politik uang bukan tulus atau tidak.
“Walaupun seandainya pemberiannya itu ikhlas, tulus, permasalahannya bukan itu. Hati kita itu cenderung kepada dunia kuat sekali, sehingga menjadi kita itu tidak enakan karena merasa kita sudah menerima. Padahal dia tidak pantas untuk kita pilih lalu kita pilih. Maka lebih baik urusan hadiah jangan dihubungkan dengan pemilihan,” imbuh Pengasuh LPD Al Bahjah ini.
Lebih lanjut Buya Yahya mempertanyakan sumber uang yang digunakan dalam praktik money politic. Menurutnya, umat harus jeli jangan asal terima uang dari timses.
“Mungkin dia orang terkaya di negeri ini. Duitnya sendiri mungkin yang dibagi-bagi. Kalau duit pinjaman, misalnya, kita tidak tahu nggak boleh suudzon juga. Artinya kemungkinan pahit itu harus kita hadirkan supaya kita tidak gampang nerima,” ujarnya.
Namun, yang dikhawatirkan Buya Yahya adalah uang dari hasil janji-janji dengan pengusaha, sehingga nanti jika terpilih akan lebih mementingkan pengusaha tersebut.
“Nah, setelah jadi bagaimana dia akan menyejahterakan rakyat sementara dia sendiri punya kewajiban untuk mengembalikan (dana) karena dia nggak punya duit, tapi kok bisa bagi-bagi duit kan aneh,” tuturnya.
“Jadi banyak kemungkinan-kemungkinan yang menjadikan kita jerumuskan dia. Kalau memang kita percaya dia orang baik, kita katakan, pak cukup gak usah Anda keluarkan uang karena aku tahu kamu orang baik dan kamu tidak punya duit. Maka gak usah bagi-bagi. Karena kamu baik kamu maka saya akan pilih,” Buya Yahya menambahkan.
Menurut Buya Yahya, timses caleg atau capres yang yang bagi-bagi uang harus diwaspadai. “Jangan-jangan duit saya nanti itu akan diambil dari saya di ke depan hari dengan bermacam-macam upaya. Harus curiga dengan yang suka bagi-bagi yang demikian itu,” katanya.
Uang pesangon atau dalam bahasa kerennya ‘Money Politic’ merupakan upaya mempengaruhi massa pemilu ataupun pemilihan kepala daerah bahkan hingga kepala desa dengan imbalan materi tertentu.
Secara hukum, praktik money politic ini jelas illegal, seperti diketahui dalam Undang-undang Pemilu Nomor 8 Tahun 2012, secara tegas mengatur larangan melakukan politik uang terutama pada pasal 86 ayat (1) huruf J, yang berbunyi:
Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.
Larangan tersebut diikuti dengan ancaman pidana pada Pasal 301 Undang-undang Pemilu Nomor 8 Tahun 2012, yang menyatakan:
Setiap pelaksana kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebaga imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 dipidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000.
Tetapi dalam kenyataanya modus operandi money politic tetaplah menjamur terlebih menjelang pemilu legislatif dan Calon presiden maupun Calon Wakil Presiden 14 Februari 2024 mendatang dan juga pada masa-masa sebelumnya.
Kita harus sadar bahwa politik uang ini dapat merusak demokrasi karena dapat menghilangkan pilihan bebas pemilih dan mendorong penyalahgunaan kekuasaan. Jika ditelisik lebih jauh praktik ini berpotensi melakukan ‘korupsi’karena tingginya biaya politik di Indonesia.
Melangsir dari CNBC Indonesia, Fahri Hamzah Wakil Ketua Partai Gelora sekaligus mantan wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019 mengatakan bahwa ongkos demokrasi di Indonesia memang mahal karena mengakomodasi keterlibatan publik secara masif.
“Kita tidak meletakkan politik bukan permainan segelintir elit, tapi semua orang. Sehingga pemilihan dilakukan oleh rakyat dari tingkat paling bawah,” tuturnya.
Lebih lanjut Fahri Hamzah menambahkan Pembiayaan Pemilu di Indonesia’ (2018) yang dipublikasikan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), menyebutkan beberapa alasan uang politik begitu tinggi.
Pertama, biaya politik yang mahal disebabkan oleh semakin berkembangnya fenomena profesionalisasi politik dan kampanye. Kedua, karena kian rendahnya dukungan finansial dari kelompok akar rumput terhadap para politisi. Inilah yang berimplikasi ketergantungan peserta pemilu kepada donatur swasta dan negara.
Bersumber dari buku “NU Demak Menjawab Problematika Umat” Para ulama merinci (tafshil) status pemberian uang pesangon yang diberikan para caleg:
Para ulama juga menjelaskan jika pemberian tersebut termasuk kategori ‘hibbah atau hadiah’ maka boleh menerima dan tidak wajib mencoblos, sedangkan apabila pemberian tersebut termasuk kategori risywah maka tidak boleh menerima secara mutlak dan wajib mencoblos caleg yang sesuai dengan kriteria dalam fiqh.
Penulis: Ika Fitriani (Dosen IAIN Kudus)
Diasuh Oleh Tgk Alizar Usman*)
Assalamualaikum waramatullahi wabarakatuh.
Yth, Ustaz pengasuh rubrik Kajian Kitab Kuning di Serambinews.com.
Menjelang Pemilu 2024, saya sering mendengar orang berkata boleh mengambil uang yang diberikan oleh calon anggota legislatif (caleg) atau oleh calon kepala daerah.
Bahkan ada beberapa spanduk yang kira-kira bunyinya begini: “Peng tacok, ureung bek tapileh. Caleg beu pungo (Uang diambil, orangnya jangan dipilih. Biar calegnya menjadi gila).
Pertanyaannya? Apa hukumnya mengambil uang yang diberikan oleh caleg? Bolehkan seorang muslim mengambil uang yang diberikan oleh caleg yang mengharapkan kita akan memilihnya, tapi kemudian kita tidak memilihnya?
Terima kasih Ustaz. Semoga Ustaz selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin
Wa’alaikumussalam waramatullahi wabarakatuh.
Pertanyaan seperti sebenarnya sering muncul dalam berbagai forum, baik forum resmi maupun tidak resmi seperti selagi bincang-bincang di kafe sambil ngopi.
Dalam negara yang menganut sistem demokrasi, sangat mungkin bagi semua kalangan masyarakat untuk ikut serta andil, bahkan menjadi pemain, dalam pencalonan diri menjadi legislatif ataupun pemimpin pemerintahan.
Banyak dari lapisan masyarakat yang sebelumnya fokus dalam dunia nonpolitik, kini berpindah masuk dalam percaturan politik dan bergelut memperebutkan kursi kekuasaan.
Dari pengamatan kita di Indonesia, dalam memperoleh suara rakyat, banyak cara yang ditempuh oleh calon legislatif ataupun calon pemimpin.
Sebagian calon ada yang hanya mengandalkan ketenaran di dunia nonpolitik, atau calon yang tidak memiliki ketenaran sama sekali, namun dengan modal finansial yang besar.
Kekuatan finansial tersebut yang kemudian digunakannya sebagai sarana meraih suara mayoritas.
Mereka dengan sangat piawai dalam menutupi money politics yang mereka lancarkan; mulai dari yang berwujud sumbangan terhadap lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan, hingga yang dibungkus rapi dalam bentuk hadiah dan pemberian secara individual.
Sehingga, suap (risywah) sudah tidak lagi dilakukan di bawah meja kekuasaan, namun dengan menu dan aroma yang baru.
Menanggapi fenomena semacam ini, beberapa abad yang lalu Islam telah mengajarkan kepada kita bahwa risywah (sogok) merupakan tindakan yang tidak terpuji. Dari Ibnu Umar r.a, beliau berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلعم الرَّاشِيَ وَالمُرْتَشِيَ
Rasulullah SAW melaknat penyogok dan penerima sogok (H.R. Abu Daud dan lainnya)
Al-Turmidzi menyatakan hadits ini hasan dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban. (Fath al-Alam karya Zakariya al-Anshariy: 673).
Dalam mengomentari kandungan hadits ini, Zakariya al-Anshariy menjelaskan kepada kita,
وفيه تحريم الرشوة على القاضي وغيره من الولاة لأنها ترفع إليه ليحكم بحق أو ليمتنع من ظلم وكلاهما واجب عليه فلا يجوز أخذ العوض عليه وأما دافعها وهو الراشي فإن توصل بها إلى باطل فحرام عليه، وإن توصل بها إلى تحصيل حق أو دفع ظلم فليس بحرام، ويختلف الحال في جوازه واستحبابه ووجوبه باختلاف المواضع
Dalam hadits memberi petunjuk haram menyogok qadhi dan pemangku kewenangan lainnya. Karena seseorang membuat laporan kepadanya agar mendapat hukum yang haq atau mencegah dari sebuah kedhaliman. Keduanya merupakan kewajibannya. Karena itu tidak boleh mengambil imbalan atas pekerjaannya itu. Adapun pemberinya yaitu penyogok apabila menjadikan sogokan tersebut sebagai perantaraan kepada suatu yang batil, maka hukumnya haram. Adapun apabila sogokannya itu sebagai perantaraan untuk mendapatkan haknya atau menolak kedhaliman, maka ini tidak haram. Terkait dalam hal boleh, anjuran atau wajib, ini tergantung perbedaan kondisinya. (Fath al-Alam karya Zakariya al-Anshariy: 673).
Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Zakariya al-Anshari menegaskankan dalam Ihya ‘Ulumuddin sebagai berikut:
قَالَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ الْمَالُ إنْ بُذِلَ لِغَرَضٍ آجِلٍ فَصَدَقَةٌ أَوْ عَاجِلٍ، وَهُوَ مَالٌ فَهِبَةٌ بِشَرْطِ الثَّوَابِ أَوْ عَلَى مُحَرَّمٍ أَوْ وَاجِبٍ مُتَعَيِّنٍ فَرِشْوَةٌ
Imam al-Ghazali mengatakan dalam al-Ihya, jika diberikan harta untuk tujuan mendatang (akhirat), maka dinamakan sadaqah atau untuk tujuan segera (imbalan dunia) berupa harta maka dinamakan hibah bisyarthi al-tsawab (hibah dengan syarat imbalan). Jika pemberian harta itu atas perkara yang diharamkan atau kewajiban muaya'an (fardhu ‘ain) maka dinamakan risywah.(Asnaa al-Mathaalib, karya Zakaria al-Anshari: IV/300)
Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dalam fatwanya No. 03 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Umum Menurut Perspektif Islam dalam fatwa point kedua disebutkan: “Memilih pemimpin dan wakil rakyat yang bertaqwa kepada Allah SWT dan menjalankan fardhu ‘ain seperti shalat, dan lain-lain adalah hukumnya wajib.”
Kemudian dalam point kelima disebutkan: “Politik Uang dan atau memberikan sesuatu untuk kemenangan kandidat tertentu hukumnya adalah haram.”
Dan juga point keenam ada pemjelasan berikut ini: “Pemberian sesuatu baik langsung atau tidak langsung yang berkaitan dengan politik adalah perilaku yang tidak terpuji, baik yang memberi atau yang menerima.”
Keterangan-keterangan di atas memberi pemahaman kepada kita sebagai berikut:
1. Pemangku kewenangan yang diberikan oleh pemerintah seperti qadhi dan lainnya wajib menetapkan/memilih sesuatu dengan kebenaran dan wajib menolak kedhaliman
2. Memilih pemimpin dan wakil rakyat yang bertaqwa kepada Allah SWT hukumnya wajib
3. Kewajiban menetapkan/memilih sesuatu dengan kebenaran dan menolak kedhaliman tersebut menjadi alasan hukum haram menerima imbalan apapun dari pihak yang tidak berwenang memberinya. Ini dapat dikatagorikan sebagai risywah yang diharamkan.
4. Namun demikian, apabila sipemberi imbalan tersebut bertujuan untuk mengambil haknya yang terdhalimi serta tidak ada jalan lain selain dengan cara memberikan imbalan, maka tidak dianggap sebagai risywah. Artinya tidak haram dari sisi pemberi tetapi tetap haram dari sisi penerima
Sesuai dengan uraian di atas, jika kita terapkan untuk penomena yang sudah kita paparkan di awal tulisan ini, yaitu penomena sumbangan terhadap lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan dan lainnya ataupun pemberian secara individual dalam rangka mengubah pilihan si penerima dalam pemilihan legislatif maupun pemilhan calon pemimpin, maka tindakan tersebut merupakan risywah yang diharamkan baik dari sisi pemberi maupun penerimanya.
Kesimpulan ini berdasarkan pemahaman kita berikut ini:
1. Risywah tidak hanya dalam konteks putusan hukum saja, tapi lebih luas dari itu sebagaimana penjelasan pengarang kitab Asnaa al-Mathalib di atas.
Pemilih calon legislatif dan pemilih calon pemimpin merupakan individu yang diberikan kewenangan oleh pemerintah dalam memilih.
Karena itu, individu pemilih dalam hal ini sama hukumnya seperti qadhi dan pemangku kewenangan lainnya.
2. Pemilih wajib memilih calon legislatif dan calon pemimpin yang sesuai dengan keyakinannya.
Karena itu, apabila menerima imbalan harta dari pihak calon legislatif atau calon pemimpin apakah itu mengubah pilihannya ataupun tidak, hukumnya haram, karena pemilih wajib memilih sesuai keyakinannya meskipun tanpa imbalan apa-apapun.
Ini akan bertambah haram lagi apabila si pemilih mempunyai niat menipu dengan jalan menerima uang tetapi pilihannya tidak berubah sesuai keinginan si pemberi.
(Ini menjadi jawaban pertanyaan di atas, “Apa hukumnya mengambil uang yang diberikan oleh caleg? Bolehkah seorang muslim mengambil uang yang diberikan oleh caleg yang mengharapkan kita akan memilihnya, tapi kemudian kita tidak memilihnya?”)
3. Apabila pemberian tersebut bertujuan melakukan suatu perbuatan yang diharamkan berupa upaya mengubah pilihan masyarakat dalam memilih pemimpin atau wakilnya dalam pemerintahan dengan jalan pemberian imbalan sejumlah harta.
Ini merupakan tindakan kedhaliman merebut hak orang lain tanpa haq yang diharamkan, baik dari sisi pemberi maupun penerima.
4. Namun demikian, apabila si pemberi imbalan tersebut bertujuan untuk mengambil haknya yang terdhalimi dan tidak ada jalan lain selain dengan cara memberikan imbalan, maka tidak dianggap sebagai risywah.
Artinya tidak haram dari sisi pemberi tetapi tetap haram dari sisi penerima.
Wallahua’lam bisshawab
*) Salah satu tugas mulia bagi Muslim adalah menjadi penerus risalah kenabian, yakni mensyiarkan Agama Islam dalam berbagai bentuk media.
Serambi Indonesia menyambut baik kerjasama Bidang Dakwah bil Qalam dan Lisan (video) dengan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh.
Dakwah melalui tulisan diasuh oleh Tgk Alizar Usman, S.Ag, M.Hum, alumni UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Alumni Dayah Istiqamatuddin Darul Muarrif, Lam Ateuk.
Adapun dakwah melalui visual diisi oleh keluarga besar DPP ISAD Aceh.
Dakwah di media besar melalui Serambi Indonesia jangkauannya lebih luas. Dapat dibaca kapan saja dan di mana saja sehingga konten dakwah bisa didapat lebih fleksibel.
Temukan solusi berbagai persoalan ummat di SINI